Minggu, 05 Januari 2014

LUMPUR LAPINDO BUKANLAH SEBUAH BENCANA ALAM,TETAPI KARENA KESALAHAN

Diposting oleh Unknown di 04.37
”LUMPUR LAPINDO BUKANLAH SEBUAH BENCANA ALAM,TETAPI KARENA KESALAHAN”


I. Masalah
a. Penyebab Terjadinya Lumpur Lapindo
Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.
Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.
Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dancasing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya.Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada.Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung.Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat di atasi dengan pompa lumpurnya Lapindo (Medici).


Underground Blowout (semburan liar bawah tanah)
Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong).Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.
Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick).Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas antaraopen-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi.Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil & kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface blowoutterjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan pemboran MIGAS di Indonesia setiap tindakan harus seijin BP MIGAS, semua dokumen terutama tentang pemasangan casing sudah disetujui oleh BP MIGAS.
Dalam AAPG 2008 International Conference & Exhibition dilaksanakan di Cape Town International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008, merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung GEMPA YOGYA sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan PEMBORAN sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara ahli menyatakan KOMBINASI Gempa dan Pemboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses pemboran. Sedangkan
menurut Wilson, peristiwa banjir lumpur itu terjadi sekitar 2 Juni 2006.Kejadian itu, boleh jadi disebabkan karena alat bor yang dicabut dari sumur bor oleh operator pengeboran, PT Lapindo Brantas.

"Sekitar tengah malam 28 Mei 2006 ketika sumur itu dalam kondisi yang tidak stabil dan membutuhkan perbaikan untuk mengatasi kehilangan sirkulasi," kata Wilson dalam laporannya yang dirilis oleh Indoleaks seperti yang diterima detikcom, Jumat (10/12/2010). Indoleaks merupakan semacam 'wikileaks'.

Wilson menilai, tindakan PT Lapindo Brantas itu tidak kompeten dan telah malanggar panduan pengeboran minyak yang baik (good oilfield practices)."Menurut pendapat saya, dengan terus menerus menarik pipa di sumur itu suatu tindakan yang ceroboh dan kalalaian," kata Wilson.Wilson menyebutkan ada beberapa penyebab lumpur terus menerus keluar dan akhirnya menenggelamkan rumah warga Sidoarjo.Namun penyebab utamanya adalah pengeboran minyak yang tidak profesional, dilakukan oleh PT Lapindo Brantas.

Pendapat Wilson ini semakin menguatkan bahwa insiden yang disebabkan oleh PT Lapindo Brantas tersebut bukanlah bencana alam.Jika peristiwa itu benar-benar kecelakaan, maka perusahaan milik grup Bakrie itu, yang saat itu melakukan pengeboran, harus bertanggung jawab.Sebelumnya, tim ilmuwan Inggris yang dipimpin Profesor Richard Davies dari Universitas Durham, menyatakan para pengebor gas bersalah atas timbulnya masalah lumpur Lapindo di Jawa Timur. Menurut mereka, ada kaitan antara semburan lumpur tersebut dengan pengeboran di sumur eksplorasi gas oleh perusahaan energi lokal PT Lapindo Brantas.

Hasil penelitian itu dimuat jurnal Marine and Petroleum Geology.Tim yang dipimpin oleh para pakar dari Universitas Durham, Inggris menyatakan, bukti baru semakin menguatkan kecurigaan bahwa musibah lumpur Lapindo disebabkan oleh kesalahan manusia (human error).
"Mereka telah salah memperkirakan tekanan yang bisa ditoleransi oleh sumur yang mereka bor. Saat mereka gagal menemukan gas setelah mengebor, mereka menarik alat bor keluar saat lubang sangat tidak stabil," kata Durham.

II. Pernyataan Sikap dan pembahasan
Menurut saya ini melanggar HAM rakyat Indonesia yang bertempat tinggal di area setempat. Karena kita dapat melihat dari dampak yang di hasilkan oleh tragedy lumpur ini sebagai brikut :

Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp. 6 Triliun.
1) Lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
2) Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
3) Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.
4) Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.
5) Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)
6) Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.
7) Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan
8) Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah.
9) Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam.
10) Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong.
11) Tak kurang 600 hektar lahan terendam.
12) Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.
Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa.Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.
Dari dampak yang di hasilkan, adapun hak Asasi yang dilanggar dalam tragedi ini antara lain :
1. Hak Pribadi
a) hak untuk hidup karena adanya korban meninggal dunia
dapat kita lihat dari korban yang di hasilkan dari tragedy lumpur lapindo ini Sedikitnya sudah 4 orang warga korban Lapindo meninggal dunia akibat menghirup gas beracun dari lumpur Lapindo. Data-data di rumah sakit dan pusatt kesehatan masyarakat menunjukkan bahwa penderita Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) meningkat drastis sejak tahun 2006.Di Puskesmas Porong saja, angka penderita ISPA naik dari 20 ribu menjadi 46 ribu. Selain itu berdasarkan temuan Komnas HAM, pihak PTLapindo gagal untuk memenuhi hak atas standar dan lingkungan hidup yang layak.Tercatat pada tanggal 3 Desember 2008, satu pengungsi bernama Ibu Jumik meninggal karena sakit dan tanpa bantuan, baik dari pemerintah maupun perusahaan Lapindo Brantas, Inc, sebagai perusahaan yang bertanggung jawab.

b) hak atas informasi karena rencana kegiatan eksplorasi minyak dan gas di sana tak diketahui masyarakat. Penyumbatan akses publik atas informasi dalam Kasus Lumpur Lapindo ini terjadi di berbagai sektor. Tidak saja informasi soal resiko di sekitar tanggul penahan lumpur yang ditutup-tutupi, informasi soal skala dan kuantitas korban semburan pun tidak diketahui secara pasti. Publik tidak diberitahu berapa persisnya jumlah korban kini, berapa keluarga, berapa jiwa, berapa desa, dan seterusnya. BPLS tidak pernah mempublikasikan data tersebut. Bahkan, badan yang dibentuk khusus untuk menangani lumpur ini tidak memiliki website resmi. Padahal, hak atas informasi ini dijamin utuh oleh Konstitusi. Pasal 28 F UUD 1945 bilang, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Jaminan serupa juga tercantum dalam UU Nomor 39 tentang HAM pasal 14.

c) hak atas rasa aman karena ancaman runtuhnya tanggul lumpuryang sewaktu-waktu dapat menenggelamkan rumah-rumah penduduk. Dalam hal ini, pemerintah dan atau pihak PT Lapindo juga tidak membuat sistem peringatan dini (early warning system). Ditambah lagi dengan munculnya gelembung-gelembung gas yang berpotensi menyebabkan kebakaran. Serta rasa aman dari tindak criminal, para pengungsi tidak mendapatkan hak ini di karenakan tidak ada jaminan keamanan terhadap anak-anak perempuan dari tindak kekerasan ataupun pelecehan seksual karena tidak ada pemisahan khusus antara pria dan wanita.


d) hak mengembangkan diri, setiap manusia berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia namun dalam kasus lumpur lapindo ini masyarakat tidak dapat mendapatkan hak pengembangan diri karena rusaknya sarana dan prasarana yang menunjang dalam mengembangkan diri antara lain rusaknya 18 sekolah (7 sekolah negeri), 2 kantor (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), 15 pabrik, serta 600 hektar lahan terendam.

hak atas perumahan karena tenggelamnya tempat tinggal 11.974 jiwa, sedangkan penggantian rugi yang dijanjikan oleh pihak PT lapindo belum juga terrealisasikan. Data yang dihimpun dari Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) Penanggulangan Bencana Pemkab Sidoarjo menyebutkan pengungsi terdiri dari 1.121 KK (4.944 jiwa) di lokasi penampungan Pasar Porong Baru dan sisanya 189 KK (707 jiwa) tinggal di Balai Desa Reno Kenongo.


e) hak atas pangan dan kesehatan akibat kurangnya dana yang dialirkan oleh PT
Lapindo Brantas. Akibat kasus ini banyak pengungsi yang tidak terjamin kesehatannya dan perolehan pangan, terlihat dari jumlah penderita ISPA di Puskesmas Porong saja, angka penderita ISPA naik dari 20 ribu menjadi 46 ribu serta lebih dari 100 warga mencret dan mual-mual akibat gas beracun dari luapan lumpur.

f) Hak atas pendidikan pun terlanggar karena rusaknya 18 sekolah SD, SMP, SMA, dan pondok pesantren akibat tergenang lumpur sehingga 1774 siswa kesulitan bersekolah.

g) hak berkeluarga dan berketurunanhilangnya properti membuat korban berhalangan untuk menyalurkan kebutuhan biologis serta naluri reproduksinya, apalagi di tempat pengungsian tidak ada tempat yang layak. Serta kehilangannya pasangan atau keluarga mereka pasca kasus lumpur lapindo ini.


h) Hak untuk beribadah dikarenakan sarana dan prasarana untuk peribadatan tidak ada / rusak hingga bulan Agustus 2006 tercatat sedikitnya 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.

2. Hak Ekonomi atau Hak MIlik
a) Hak atas pekerjaan dan hak pekerja pun terlanggar karena lumpuhnya perekonomian di Sidoarjo. Selain itu Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini dan empat kantor pemerintah juga tak berfungsi sehingga para pegawai juga terancam tak bekerja.

b) hak milik karena sudah tidak ada yang dimiliki, para korban telah kehilangan hak milik baik secara materi atau bukan seperti hilanngnya lahan ternak berupa lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang. Hilangnya hak kepemilikan rumah akibat 1.683 unit telah terendam lumpur, dll.


3. Hak Asasi Sosial dan Budaya
a) hak atas jaminan social
Pemerintah ataupun pihak yang bertanggung jawab juga telah melanggar hak-hak kelompok rentan seperti kaum disabilitas, kelompok lanjut usia, anak-anak, dan perempuan. Terbukti di lapangan, tidak ada perlakuan khusus untuk ibu hamil serta tidak ada jaminan keamanan terhadap anak-anak perempuan dari tindak kekerasan ataupun pelecehan seksual karena tidak ada pemisahan khusus antara pria dan wanita. Dengan terlanggarnya hak-hak para korban lumpur tersebut, maka secara tidak langsung hak mereka untuk memperoleh jaminan sosial juga tidak dipenuhi sama sekali.

4. Hak Asasi Politik
a. Hak untuk memilihBerdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sidoarjo, lebih dari 66 ribu warga korban lumpur terancam kehilangan hak suara dan tidak dapat memilih dalam Pemilihan Gubernur Jatim 2013 dan Pemilihan Umum 2014.. Mereka mendiami 11 desa di Kecamatan Porong, Tanggulangin, dan Jabon.

5. Hak Asasi Persamaan Hukum
a. Hak memperoleh perlakuan yang sama dalam keadilan hukum dan pemerintahan. Pemerintah yang kurang tanggap atas kasus ini semakin memperkuat tentang pelanggaran Hak ini, Pemerintah seakan acuh terhadap kasus ini terbukti dengan tidak di setujuinya 12 pelanggaran HAM yang diajukan oleh KOMNAS HAM.
Meskipun dampak yang dihasilkan kasus lapindo ini dapat di katakana telah melanggar 12 HAM sampai sekarang kasus ini belum menemui titik terang, sudah 7 tahun tercatat dari tahun 2006-2013. Dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni secara pandangan factual dan pandangan politik.
a. Sudut Pandang Politik
Hal ini dapat terjadi karena lemahnya kekuatan hukum di Indonesia, meskipun pemerintah telah mengeluarkan PERPRES namun kenyataannya hal ini tidak dapat menjadi sebuah peringatan atau aturan yang dapat membuat pihak PT Lapindo segera bertanggung jawab atas kasus ini.Tidak hanya itu,pemerintah juga tidak menanggapi rekomendasi dari Komnas Ham yang menyatakan bahwa pada kasus ini terjadi pelanggaran HAM yang telah dibahas dalam rapat paripurna pada beberapa waktu lalu. Bahkan pemerintah juga tidak memperdulikan kasus ini, walaupun telah terbuka kesempatan untuk menggugat perusahaan yang terlibat dalam kasus ini.
Dalam kasus Sidoarjo, kita menyaksikan lima tingkat kelemahan pemerintah:
a) kelemahan dalam mengelola persilangan kepentingan internal dalam pemerintahan;
b) kegagalan mengambil kebijakan tepat secara sigap;
c) kegagalan manajemen pemerintahan;
d) kegagalan memfungsikan hukum sebagai alat pertanggungjawaban publik; dan
e) kegagalan memprioritaskan kepentingan yang harus diselamatkan.

Selain itu, dapat dikatakan bahwa pemerintah tunduk pada korporasi dan tidak menjalankan kewajibannya memenuhi hak-hak warga negaranya. Ditambah Bakrie pemilik dari PT Lapindo ini merupakan salah satu politisi dalam pemerintah. Hal ini semkin memperkuat adanya IMPUNITAS dalam pemerintahan Indonesia.

b. Sudut Pandang Factual
Pemerintah di pandang belum mampu menanggulangi kasus ini meskipun sudah banyak cara yang dilakukan seperti :
1) Menghentikan luapan lumpur dengan menggunakan snubbing unit pada sumur Banjar Panji-1. Snubbing unit adalah suatu sistem peralatan bertenaga hidraulik yang umumnya digunakan untuk pekerjaan well-intervention & workover (melakukan suatu pekerjaan ke dalam sumur yang sudah ada). Snubbing unit ini digunakan untuk mencapai rangkaian mata bor seberat 25 ton dan panjang 400 meter yang tertinggal pada pemboran awal. Diharapkan bila mata bor tersebut ditemukan maka ia dapat didorong masuk ke dasar sumur (9297 kaki) dan kemudian sumur ditutup dengan menyuntikan semen dan lumpur berat. Akan tetapi skenario ini gagal total. Rangkaian mata bor tersebut berhasil ditemukan di kedalaman 2991 kaki tetapi snubbing unit gagal mendorongnya ke dalam dasar sumur.
2) Dilakukan dengan cara melakukan pengeboran miring (sidetracking) menghindari mata bor yang tertinggal tersebut. Pengeboran dilakukan dengan menggunakan rig milik PT Pertamina (persero). Skenario kedua ini juga gagal karena telah ditemukan terjadinya kerusakan selubung di beberapa kedalaman antara 1.060-1.500 kaki, serta terjadinya pergerakan lateral di lokasi pemboran BJP-1. Kondisi itu mempersulit pelaksanaan sidetracking.Selain itu muncul gelembung-gelembung gas bumi di lokasi pemboran yang dikhawatirkan membahayakan keselamatan pekerja, ketinggian tanggul di sekitar lokasi pemboran telah lebih dari 15 meter dari permukaan tanah sehingga tidak layak untuk ditinggikan lagi. Karena itu, Lapindo Brantas melaksanakan penutupan secara permanen sumur BJP-1.
3) Pada tahap ini, pemadaman lumpur dilakukan dengan terlebih dulu membuat tiga sumur baru (relief well). Tiga lokasi tersebut antara lain: Pertama, sekitar 500 meter barat daya Sumur Banjar Panji-1. Kedua, sekitar 500 meter barat barat laut sumur Banjar Panji 1.Ketiga, sekitar utara timur laut dari Sumur Banjar Panji-1. Sampai saat ini skenario ini masih dijalankan.

Ketiga skenario beranjak dari hipotesis bahwa lumpur berasal dari retakan di dinding sumur Banjar Panji-1.Padahal ada hipotesis lain, bahwa yang terjadi adalah fenomena gunung lumpur (mud volcano), seperti di Bledug Kuwu di Purwodadi, Jawa Tengah.Sampai sekarang, Bledug Kuwu terus memuntahkan lumpur cair hingga membentuk rawa.
Rudi Rubiandini, anggota Tim Pertama, mengatakan bahwa gunung lumpur hanya bisa dilawan dengan mengoperasikan empat atau lima relief well sekaligus. Semua sumur dipakai untuk mengepung retakan-retakan tempat keluarnya lumpur.Kendalanya pekerjaan ini mahal dan memakan waktu.Contohnya, sebuah rig (anjungan pengeboran) berikut ongkos operasionalnya membutuhkan Rp 95 miliar.Biaya bisa membengkak karena kontraktor dan rental alat pengeboran biasanya memasang tarif lebih mahal di wilayah berbahaya. Paling tidak kelima sumur akan membutuhkan Rp 475 miliar. Saat ini pun sulit mendapatkan rig yang menganggur di tengah melambungnya harga minyak.


III. Kesimpulan
Akibat kesalahan pada saat pengeboraan lumpur di Sidoarjo terjadilah tragedi lumpur lapindo. Kasus ini mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi para korban yakni sebagai berikut :
1. Hak pribadi terdiri dari hak untuk hidup, hak informasi, hak rasa aman, hak mengembangkan diri, hak pendidikan dll
2. Hak ekonomi terdiri dari hak pmendapatkan pekerjaan, hak milik
3. Hak social budaya terdiri dari hak jaminan soial.
4. Hak Asasi Politik yaitu hak untuk memilih.
5. Hak Asasi Persamaan Hukum.
Kasus ini bukanlah sebuah Bencana Alam, namun merupakan kesalahan dari pihak PT. Lapindo dalam proses pengeboran banyak fakta yang memperkuat kenyataan ini, namun karena lemahnya pemerintahan Indonesia menyebabkan kasus ini dianggap sebagai bencana alam. Sehingga PT. Lapindo dengan bebas tidak membayar ganti rugi kepada para korban, dan semua ini di timpakan kepada pemerintah.Pemerintah sendiri kelimpungan menghadapi kasus ini, hal ini sebenarnya merugikan pemerintah karena dengan adanya kasus ini sangat jelas APBN membengkak.Namun sekali lagi pemerintah tidak mampu untuk lebih tegas agar PT Lapindo bertanggung Jawab.
Pemerintah dianggap tidak serius menangani kasus luapan lumpur panas ini.Masyarakat adalah korban yang paling dirugikan, di mana mereka harus mengungsi dan kehilangan mata pencaharian tanpa adanya kompensasi yang layak. Pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembelian lahan bersertifikat dengan harga berlipat-lipat dari harga NJOP yang rata-rata harga tanah dibawah Rp. 100 ribu- dibeli oleh Lapindo sebesar Rp 1 juta dan bangunan Rp 1,5 juta masing-masing permeter persegi. untuk 4 desa (Kedung Bendo, Renokenongo, Siring, dan jatirejo) sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN, juga penanganan infrastruktur yang rusak.Hal ini dianggap wajar karena banyak media hanya menuliskan data yang tidak akurat tentang penyebab semburan lumpur ini.
Salah satu pihak yang paling mengecam penanganan bencana lumpur Lapindo adalah aktivis lingkungan hidup. Selain mengecam lambatnya pemerintah dalam menangani lumpur, mereka juga menganggap aneka solusi yang ditawarkan pemerintah dalam menangani lumpur akan melahirkan masalah baru, salah satunya adalah soal wacana bahwa lumpur akan dibuang ke laut karena tindakan tersebut justru berpotensi merusak lingkungan sekitar muara.
PT Lapindo Brantas Inc sendiri lebih sering mengingkari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati bersama dengan korban.Menurut sebagian media, padahal kenyataannya dari 12.883 buah dokumen Mei 2009 hanya tinggal 400 buah dokumen yang belum dibayarkan karena status tanah yang belum jelas. Namun para warga korban banyak yang menerangkan kepada Komnas HAM dalam penyelidikannya bahwa para korban sudah diminta menandatangani kuitansi lunas oleh Minarak Lapindo Jaya, padahal pembayarannya diangsur belum lunas hingga sekarang. Dalam keterangannya kepada DPRD Sidoarjo pada Oktober 2010 ini Andi Darusalam Tabusala mengakui bahwa dari sekitar 13.000 berkas baru sekitar 8.000 berkas yang diselesaikan kebanyakan dari korban yang berasal dari Perumtas Tanggulangin Sidoarjo. Hal ini menunjukkan bahwa banyak keterangan dan penjelasan yang masih simpang siur dan tidak jelas.

IV. Solusi
Solusi yang harus dilakukan selain ganti rugi bagi korban, yang lebih penting adalah memberi kepastian dan pilihan yang menentukan masa depan korban yang lama telah terlantar. Semburan yang hingga sekarang tahun 2013 belum berenti berarti, pemerintah harus menyiapkan penampungan sementara yang memenuhi kelayakan hingga dapat menempati tempat tinggal semula.Tentu harus disiapkan pembangunan kembali perumahan, infrastruktur dan fasilitas sosial yang rusak terendam lumpur.
Tidak kalah penting, menyiapkan program ekonomi untuk mengembalikan penghidupan korban yang dalam jangka panjang tidak akan dapat menggantungkan pada lahan persawahan atau tambak, dan pemerintah atau orang yang bertanggung jawab harus segera diputuskan adanya relokasi korban.
Persoalan paling penting adalah menentukan apakah relokasi itu dilakukan di wilayah Kabupaten Sidoarjo sendiri atau ke wilayah lain karena menyangkut identitas kelahiran dan ikatan nenek moyang yang tidak mudah dihilangkan. Harus juga dilakukan dengan menyediakan sarana perumahan, infrastruktur memadai, fasilitas umum dan sosial, serta ketersediaan lapangan kerja baru sesuai keahlian yang dimiliki masing-masing korban.
Penyelesaian juga harus bermartabat, maksudnya adalah bermartabat tidak hanya bagi pemerintah, tapi juga bagi pengusaha, terlebih bagi korban lumpur Lapindo. Pemerintah dianggap bermartabat jika ia tetap bertanggung jawab kepada rakyat. Pengusaha dianggap bermartabat jika memiliki kepedulian terhadap masyarakat.Jalan itu ada dan dapat dilakukan segera. Pihak-pihak di atas rakyat (pengusaha dan pemerintah) tidak perlu mencari cara menghindar, apalagi lari, dari tuntutan menyelesaikan masalah lumpur Lapindo.
Langkah lebih lanjut sudah barang tentu memulihkan kehidupan mereka agar normal kembali, dengan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan kembali. Dana yang mungkin dianggarkan oleh pemerintah adalah dana subsidi untuk hidup, misalnya selama setahun, sampai masyarakat bisa dilepas ke pekerjaan semula. Akan lebih baik lagi kalau kemudian pemerintah memberikan fasilitas penunjang yang memungkinkan terbukanya kembali peluang kerja bagi mereka, misalnya menanam dengan pola penanaman secara tumpang sari, seperti dimungkinkan menanam tanaman jambu mete di antara tanaman kayu jati (seperti contoh di Vietnam).
Alternatif lain dari jambu mete adalah mangga Probolinggo, jambu Madura, atau kelengkeng dataran rendah. Pihak perusahaan makanan juga bisa ikut membantu memulihkan kehidupan ekonomi warga dengan menampung hasil produk kedelai dan kacang tanah untuk industri kecap atau makanan ringan. Demikian juga produk yang lain, sehingga selain ekonomi segera pulih, ada nilai tambah dari hasil produk pertanian warga. Ganti rugi yang akan dilaksanakan meliputi ganti rugi atas tanah dan bangunan, aset lainnya seperti pohon, dan lahan pertanian. Ganti rugi adalah salah satu dari tiga alternatif kompensasi yang ditawarkan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo kepada warga korban lumpur.Adapun dua alternatif lainnya ialah bedol desa dan relokasi.Sejauh ini, sebagian besar warga cenderung memilih ganti rugi.
Yang terakhir adalah Sawah mereka hancur, masa depan tanah mereka juga. Tanah itu tidak akan ekonomis lagi sepanjang masa. Tempat yang mereka tinggali sudah berubah total. Kalau perlu harus dipikirkan sekarang juga solusi relokasi. Akan tetapi jangan ke tempat yang membuat mereka sengsara, tapi ke tempat yang bisa membuat mereka kembali hidup bermartabat.
Sebelum hal itu semua dilaksanakan hendaknya pemerintah mampu dan dapat menyelesaikan permasalahan dengan pihak PT Lapindo, sehingga bukan hanya pemerintah yang berusaha mengembalikan hak yang telah terenggut dari para korban namun juga pihak PT Lapindo.Seta menggebalikan rasa percaya para korban kepada pemerintah.

0 komentar:

Posting Komentar

 

your life begins with a dream Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by web hosting